Lost Page


                   credit: instagram @gill_edinburgh




Chapter 2


"Kayaknya kita udah gak bisa bareng lagi, benteng diantara kita tinggi banget, aku udah capek, Ar" ucap perempuan berlesung pipi di depan Aria. "Aku tau, tapi aku masih mau buat kamu bahagia, masih banyak hal pengen aku lakukan buat kamu seneng, Dit."


"Ar, semakin lama kita bersama, semua momen indah yang kita ciptakan, jadi terasa lebih menyakitkan." 


"Aku tau aku akan menyesal nantinya, tapi aku capek banget. Aku gak sekuat kamu..." dengan putus asa, perempuan ini hampir meneteskan air matanya. "Okay, Dita, kita masih bisa berteman baik kan? Aku gak mau setelah semua berakhir ..." belum sempat Aria melanjutkan perkataannya, perempuan ini menyela "Aku gak tau, aku butuh waktu untuk jauh dari kamu, aku gak mau tidak adanya jarak memanjakan rasa iba ku. Bisa?"


Cafe itu sunyi, desir angin bahkan terdengar seperti badai untuk Aria. Ya, dengan tatapan nanarnya, ia mengangguk seakan mengerti padahal kepalanya berkecamuk dalam bingung. Matanya tidak bisa berbohong. Dita, perempuan yang sangat ia cintai selama hampir 8 tahun memutuskan untuk pergi dari hidupnya. 


Langit Sabtu siang yang teduh mulai menampakkan mendungnya, walau tak selamanya mendung akan menjadi hujan, namun Aria mengutuk semesta yang seakan kompak dengan patah hatinya. 


Lembut terdengar dari dalam ruangan sebuah lagu terputar dan menemani heningnya meja nomor 7 yang dihuni dua manusia yang entah bagaimana perasaannya, yang pasti, satu diantara mereka berada dalam patah hati yang hebat. 


The things we said and did have left permanent scars

Obsessed depressed at the same time

I can't even walk in a straight line

I've been lying in the dark no sunshine

No sunshine

No sunshine


She cries

This is more than goodbye

When I look into your eyes

You're not even there

It's just a feeling


Just a feeling

Just a feeling that I have

Just a feeling

Just a feeling that I have

Oh yeah


"Ar, are you okay with this?" sorot iba perempuan itu membuat Aria salah tingkah. "Hey, come on, Dit. Tell me what's more painful than this?" ucap Aria sambil membersihkan kedua pahanya yang tidak kotor bahkan debu saja tidak berani ada diatas celana Uniqlo andalannya. "I do really sorry, Ar. Things have changed. I couldn't be your wonder woman any more. Hubungan beda iman begini gak akan lari kemana-mana, untuk jalan pun kita sudah sampai di jalan buntu. I can't do this any longer." Perempuan manis itu menggenggam tangan Aria dan memastikan Aria mengerti. 


"Dit, may i be honest to you?" serak paraunya memecah atmosfir. "Sure.." 


"Tapi jangan marah dan jangan menyayangkan apa yang sudah aku lakukan ya? Aku mulai belajar beragama Islam. Mencoba mempelajari semuanya, bahkan aku pergi ke teman aku, Rival, kamu tau? He taught me a lot about faith and anything of Islam"


Nampaknya, Dita mulai kehabisan kata-kata dan hanya terduduk menganga, tak percaya apa yang baru saja ia dengar dari mulut lelaki yang berada di depannya. 


"Dita, You're right. How i wish i could.." Aria, laki-laki berambut panjang bergelombang yang tampak kuat tak mampu lagi menahan air matanya. "Aku gak bisa nahan kamu lagi, skenario terburuk yang kita bayangkan di awal ternyata jadi kenyataan."


"Ar, you deserve all the best in life. You are a nice guy. Your love is pure, you have that sweet smile, you are a hard-working man that i have ever met. Aku mau kamu bisa jadi orang yang lebih lagi tanpa aku, aku pamit ya?"


"I'm okay, Dit. Gak boleh nolak aku anter ya. Terakhir janji." Sambil mengemas kacamata dan pouchnya di atas meja, Aria mengeluarkan kunci mobil SUVnya dan reflek menggandeng perempuan semampai itu. Perempuan itu berdiri dan mengenggam tangan Aria. Yah, setidaknya untuk terakhir kali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PROLOG

Aria: Untold Story.